Selasa, 02 Juli 2019

Nasihat - nasihat

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلا تَعْجِزَنَّ , وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَ كَذَا , وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ , فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan”.
(HR. Muslim no. 2664)

Kandungan Hadis

1. Perkataan seandainya membuka (pintu) perbuatan setan, karena di dalam kata-kata seandainya menunjukkan adanya kesedihan yang mendalam dan mencela terhadap takdir Allah ta’ala ketika seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Sedangkan sikap yang demikian ini meniadakan sikap sabar dan ridha terhadap takdir Allh ta’ala. Padahal, sabar hukumnya wajib. Dan begitu juga dengan iman kepada takdir Allah, hal ini juga merupakan kewajiban bagi setiap orang.

2. Jangan berketerusan meratapi masa lalu, bersedih dengan apa yang tidak diperoleh di masa lalu, maka sangat mungkin kita akan merusak masa depan diri sendiri. Pernahkah melihat orang mengendarai mobil atau motornya dengan terus-terusan menatap kaca spion? Apa yang akan terjadi jika hal tersebut dilakukan? Tentu saja kendaraan yang disetirnya akan lambat maju, bisa juga menabrak banyak hal di depannya karena salah fokus.

3. “Seandainya waktu itu saya tidak melakukan hal tersebut, pasti kejadiannya tidak begini!” “Coba saya mendengar masukan dari dia, pasti tidak seperti ini jadinya!” Mengapa kita berandai-andai pada sesuatu yang telah terjadi dan bersedih hati karenanya? Semua itu atas ‘QaddarAllohu wa maa syaa’a fa’ala, Alloh telah mentakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya’. Karena perkataan seandainya dapat membuka celah perbuatan syaitan.”

4. Amiirul mukminin Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Sabar adalah sebagian dari iman, sebagaimana kedudukannya kepala terhadap badannya.” (Derajat Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3627), An-Nasaa’i dalam Al-Kubra (1462) dan Ahmad (6/24)) Oleh karena itulah, jika kita tertimpa suatu musibah atau sesuatu yang tidak kita harapkan, maka sepantasnya bagi kita adalah bersabar dan menerima terhadap apa yang telah menjadi ketentuan Allah ta’ala dan tidak perlu mengatakan, “seandainya tadi aku tidak melakukan hal ini, tentulah kejadiannya akan berbeda” atau kata-kata yang semisalnya.
Karena meskipun kita mengatakan “seandainya begini atau begitu, maka tidaklah akan terjadi hal ini”, ucapan ini tidak akan menyebabkan apa yang telah hilang dari kita bisa kembali lagi. Dan perlu diketahui bahwa perkataan yang seperti ini juga tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Bahkan hal ini justru bisa menambah kesusahan dan kesedihan batin.
Firman Allah SWT yang berkaitan dengan tema hadits tersebut adalah:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ  لِكَيْلَا تَأْسَوْهَا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَا ءَا تَكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَا لٍ فَخُوْر
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya, sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira dengan apa yang Dia berikan untukmu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-Hadiid: 22-23)
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا

Dan seperti itulah, telah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.
(QS. Al-Furqan: 31)

💡Dalam ayat yang lain, Allah menerangkan tentang musuh para Nabi dan pengikutnya yaitu setan-setan, baik dari kalangan jin maupun manusia.
Allah berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).”
(QS. Al-An’am: 112)

👣Makanya, jangan pernah mengira ketika kita telah menjadi orang baik dan berusaha meniti kebenaran lantas kemudian hidup tenang tanpa musuh dan gangguan.
Bahkan, semakin kukuh kita di atas kebenaran semakin banyak dan besar ujiannya.

🏷Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang manusia yang paling berat ujiannya, beliau bukan menjawab orang yang paling durjana akan tetapi mereka yang paling dekat kedudukannya dengan Allah, bagus agamanya.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, ia pernah menuturkan :

قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ , ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ , فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ , فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ , وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ , فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

“Aku pernah berkata : Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya? Beliau menjawab : ‘Para Nabi, kemudian yang semisal, kemudian yang semisal. Sungguh seseorang itu akan diuji berdasarkan agamanya, bila agamanya kuat, ujiannya pun berat, sebaliknya bila agamanya lemah, ia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Ujian tidak akan berhenti menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi dengan tidak mempunyai kesalahan.’” (HR. Tirmidzi: 2398)
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَأَلِهِ وَسَلَّمَ:   سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمِانٌ بُطُوْنُهُم آلِهَتُهُم وَنِسَاؤُهُم قِبْلَتُهُم ، وَدَنَانِيْرُهُمْ دِيْنُهُمْ ، وَشَرَفُهُمْ مَتَاعُهُمْ ،

Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wasallam  bersabda..Akan datang suatu zaman atas manusia:

1. Perut-perut mereka menjadi Tuhan-tuhan mereka.
2. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka.
3. Dinar-dinar(uang) mereka menjadi agama mereka.
4. Kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka.

لاَ يَبْقَى مِنَ الاِيْمَانِ إلاَّ إِسْمُهُ ، وَمِنَ الاِسْلاَمِ إِلاَّ رَسْمُهُ ، وَلاَ مِنَ القُرْآنِ إِلاَّ دَرْسُهُ ، مَسَاجِدُهُم مَعْمُورَةٌ ، وَقُلُوْبُهُمْ خِرَابٌ مِنَ الْهُدَى ، عُلَمَاؤُهُمْ أَشَرَّ خَلَقَ الله ُعَلَى وَجْهِ الأَرْضِ.

1. Waktu itu, tidak tersisa dari iman kecuali namanya saja.

2. Tidak tersisa dari Islam kecuali ritual-ritualnya saja.

3. Tidak tersisa Al-Quran kecuali sebatas kajiannya saja.

4. Masjid-masjid mereka makmur, akan tetapi hati mereka kosong dari petunjuk (hidayah).

5. Ulama-ulama mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi.

. حِيْنَئِذٍ إِبْتِلاَهُمُ الله ُبِأَرْبَعِ خِصَالٍ :
جَوْرٌ مِنَ السُّلْطَانِ ،
وَقَحْطٌ مِنَ الزَّمَانِ ،
وَظُلْمٌ مِنَ الوُلاَةِ وَالحُكَامِ.

Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka empat perkara (azab) :

1). Kekejaman para penguasa,
2). Kekeringan pada masa,
3), Kezaliman para pejabat,
4). Ketidak-adilan para hakim."

، فَتَعْجَبُ الصَّحَابَةِ وَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ أَيَعْبُدُوْنَ الأَصْنَامِ .
Maka heranlah para sahabat mendengar penjelasan Rasulullah. Mereka bertanya, "Wahai Rasul Allah, apakah mereka ini menyembah berhala ?"

؟ قَالَ : نَعَم ، كُلُّ دِرْهَمٍ عِنْدَهُمُ صَنَمٌ  .متفق عليه
Nabi Shallallahu 'Alayhi Wasallam  menjawab, "Ya ! Bagi mereka, setiap dirham (uang) menjadi berhala (dipertuhan/disembah)"
( Hadist Mutafaq'alaih )

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ . (رواه الترمذي وأحمد وابن حبان)

Artinya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ , beliau bersabda, “Celakalah hamba (orang yang diperbudak) dinar, dirham, beludru dan kain bergambar. Jika dia diberi dia ridha, jika tidak diberi dia tidak ridha." [HR. Tirmidzi, no. 2336; Ahmad 4/160; Ibnu Hibbân no. 3223]

Pelajaran yang terdapat pada hadits di atas :

1. Hendaknya seorang hamba tidak membiarkan dirinya diperbudak harta dalam kehidupannya, selalu berangan-angan dan bermimpi untuk mendapatkannya, mencintai dan membenci karenanya, membela dan memusuhi hanya demi harta. Karena hal itu hanya akan membawa kepada kehancurannya.

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sepantasnya seseorang itu mengambil harta dengan kemurahan jiwa, agar dia diberkahi di dalam hartanya. Jangan sampai dia mengambilnya dengan ambisi dan rakus." (al-Washiyatul Kubrâ, hlm. 55, tahqîq : Syaikh Salîm al-Hilâli)

3. Harta itu adalah ujian, padahal manusia sangat menyukainya. Oleh karena itu, banyak orang yang gagal dalam menghadapi ujian besar ini. Sedikit sekali orang yang bisa bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan nikmatNya yang tidak terhitung banyak dan nilainya.

4. Banyak orang mengira, jika Allah memberikan harta yang banyak kepadanya, itu bertanda Allah mencintainya. Sebaliknya, jika Allah mengurangi rizqinya, itu pertanda Allah menghinakannya. Ini adalah anggapan keliru. Karena semua itu merupakan ujian dari Allah Azza wa Jalla .

5. Allah memberikan harta kepada siapa yang disukai atau yang dibenci.

6. Akhirnya seseorang harus menyadari, bahwa semua ini adalah ujian, supaya menghadapinya dengan keta'atan.

Tema hadits yang berkaitan dengan ayat Al-Qur'an :

1. Kemuliaan dan kehinaan tidak bisa diukur dengan harta;

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ۞ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ۞

"Adapun manusia, jika dia diuji oleh Rabbnya, dimuliakan dan diberi kesenangan, maka dia akan berkata, “Rabbku telah memuliakanku”. Sedangkan bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata, “Rabbku telah menghinakanku.” [QS. Al-Fajar/89: 15-16]

2. Harta merupakan ujian;

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ ۚ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ ۞

"Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka ? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." [QS. Al-Mukminûn/23: 55-56].

3. Banyak orang gagal diuji dengan harta;

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ ... ۞

"ٌDan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi." [QS. Asy-Syura/42 : 27]
   
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ

Telah Kami tetapkan di dalam Kitab Zabur setelah (tertulis) di dalam Adz-Dzikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh para hamba-Ku yang SHALEH.
[QS. Al-Anbiya' : 105]

إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Sungguh bumi itu milik Allah, Dia akan mewariskannya kepada siapa saja yg dikehendaki dari para hambaNya, dan kesudahan yang baik adalah bagi mereka yang BERTAKWA.
[QS. Al-A'rof: 128]

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal SHALEH, bahwa Dia pasti benar-benar akan menjadikan mereka BERKUASA di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.
[QS. Annur: 55]
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al Baqarah: 201).

أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ

“Apa saja yang ditakdirkan akan menimpamu, maka tidak akan luput darimu. Apa saja yang ditakdirkan akan luput darimu, maka tidak akan menimpamu” (HR. Abu Daud no. 4699. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)

🍒“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” (QS. Adz Dzariyat: 24-30)

🎙 Menjawab Salam dengan Yang Lebih Baik

mengandung makna langgeng dan terus menerus, sedangkan jumlah fi’liyah hanya mengandung makna terbaharui. Artinya di sini, balasan salam Ibrahim lebih baik karena beliau mendoakan keselamatan yang terus menerus. Inilah contoh akhlaq yang mulia dari Nabi Allah Ibrahim ‘alaihis salam. Kita bisa mengambil pelajaran dari sini bahwa hendaklah kita selalu menjawab ucapan salam dari saudara kita dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana Allah Ta’ala pun telah memerintahkan kita seperti itu dalam ayat,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

🌀 “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86)

✅ Memuliakan Tamu

📚Dalam cerita Ibrahim ini juga terdapat pelajaran yang cukup berharga yaitu akhlaq memuliakan tamu. Lihatlah bagaimana pelayanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk tamunya. Ada tiga hal yang istimewa dari penyajian beliau:

🔶 Beliau melayani tamunya sendiri tanpa mengutus pembantu atau yang lainnya.Beliau menyajikan makanan kambing yang utuh dan bukan beliau beri pahanya atau sebagian saja.Beliau pun memilih daging dari kambing yang gemuk. Ini menunjukkan bahwa beliau melayani tamunya dengan harta yang sangat berharga.

↗Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana sebaiknya kita melayani tamu-tamu kita yaitu dengan pelayanan dan penyajian makanan yang istimewa. Memuliakan dan menjamu tamu inilah ajaran Nabi Ibrahim, sekaligus pula ajaran Nabi kita Muhammad ‘alaihimush sholaatu wa salaam. ‘Abdullah bin ‘Amr dan ‘Abdullah bin Al Harits bin Jaz’i mengatakan, “Barangsiapa yang tidak memuliakan tamunya, maka ia bukan pengikut Muhammad dan bukan pula pengikut Ibrahim” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, hal. 170). Begitu pula dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

◾ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47, dari Abu Hurairah)

🗯Seseorang dianjurkan menjamu tamunya dengan penuh perhatian selama sehari semalam dan sesuai kemampuan selama tiga hari, sedangkan bila lebih dari itu dinilai sebagai sedekah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ » . قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ ، فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهْوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ »

dari kebiasaannya. Adapun setelah hari ketiga, maka melayani tamu di sini adalah sedekah dan termasuk berbuat baik. Artinya, jika ia mau, ia lakukan dan jika tidak, tidak mengapa (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 21/31). Imam Asy Syafi’i rahimahullah dan ulama lainnya mengatakan, “Menjamu tamu merupakan bagian dari akhlaq yang mulia yang biasa dilakukan oleh orang yang nomaden dan orang yang mukim” (LihatSyarh Al Bukhari libni Baththol, 17/381). Sudah sepatutnya kita dapat mencontoh akhlaq yang mulia ini.

📎Berbicara dengan Lemah Lembut

bagaimana sebaiknya seseorang bertutur kata. Inilah pula yang diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda,

لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

📑“Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad 1/155, hasan)

akhlaq mulia dari Nabi Ibrahim yang seharusnya dapat kita jadikan teladan. Dalam sebuah ayat, AllahTa’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ

⚖“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian.” (QS. Al Mumtahanah: 6)
هذا العصر عصر الرفق والصبر والحكمة ، وليس عصر الشدة ، الناس أكثرهم في جهل ،في غفلة وإيثار للدنيا ، فلا بد من الصبر ، ولا بد من الرفق حتى تصل الدعوة ، وحتى يبلغ الناس وحتى يعلموا

🌀“Zaman ini adalah zamannya untuk berlemah-lembut, sabar dan hikmah, Bukan zamannya bersikap keras, karena kebanyakan manusia banyak yang jahil, lalai dan lebih mementingkan urusan dunia. Oleh karena ini harus bersabar dan lemah lembut sampai dakwah ini tersampaikan dan sampai pada manusia agar mereka mengetahuinya.” [Majmu’ Fatawa 8/376]

🗯 Hukum asal dakwah adalah lemah lembut, terlebih pada hal “memperbaiki/mengkoreksi kebiasaan seseorang/kaum” dan terkadang dalam dakwah tidak boleh terlalu gengsi semisal tidak mau “jemput bola” mendatangi mereka yang butuh dakwah. Terkadang dakwah itu perlu mendatangi manusia dan menjelaskan dengan hikmah dan lembut. Hal ini dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin, beliau berkata:

ينبغي لطلبة العلم أن ينبهوا الناس ،ولكن يالرفق، لأن العامة إذا أنكر عليهم ما اعتادوه نفروا، فإذا أتوا بالحكمة واللين قبلوا

🛡“Hendaknya para penuntut ilmu memperingatkan manusia, namun haruslah dengan lemah lembut, karena kebanyakan manusia jika diingkari sesuatu hal yang sudah menjadi kebiasaan mereka, akan lari menjauh, akan tetapi jika mereka didatangi dengan cara yang hikmah dan lembut, mereka akan menerima.” [Syarh al-Mumti’ 3/204]

🔍 Baca Juga: Penyakit Berbahaya: Merasa Punya Jasa dalam Dakwah

↗Dakwah seperti inilah yang diperintahkan oleh agama kita yaitu lembut dan penuh hikmah.

🕋 Allah Ta’ala berfirman

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

🗂“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah (lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

📚 Dakwah adalah perkara yang agung, hendaknya kita isi dengan kelembutan sebagaimana arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

📨“Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak berada pada sesuatu melainkan dia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, tidaklah sifat itu dicabut dari sesuatu, melainkan dia akan membuatnya menjadi buruk.” [HR. Muslim]

✅ Memang benar dakwah juga bisa dengan ketegasan, akan tetapi hukum asalnya adalah hikmah dan lemah-lembut. Jangan sampai dakwah lebih banyak keras dan tegasnya dari pada kelembutan, terlebih di zaman ini. Apabila dakwah dilakukan dengan keras tentu manusia akan menjauh.

🕋Allah berfiman

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

⚖ “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap KERAS LAGI BERHATI KASAR, tentulah mereka akan MENJAUHKAN DIRI dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)

📜Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jug bersabda,

ﻳَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻌَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﺑَﺸِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ

⏳ “Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari]
أَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ

🛡“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”” (QS. Asy Syu’ara: 216).

🔰 Berlepas Diri Dengan Adab dan Akhlak yang Baik Terhadap Keluarga

📋Namun sikap berlepas diri dari perbuatan mereka yang buruk tersebut tidak berarti mengharuskan kita berkata dan berbuat yang buruk kepada mereka. Bahkan wajib atas setiap Muslim untuk mendakwahkan keluarganya, orang tuanya, dan kerabatnya kepada Allah dengan cara yang baik. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ

🏷 “Berilah peringatan jika memang peringatan itu bermanfaat” (QS. Al A’laa: 9).

📂Berlepas diri dari orang tua yang musyrik bukan berarti menjauhi dan meninggalkan mereka, bahkan tetap membersamai mereka dan memperlakukan mereka dengan baik. Berdasarkan yang ditunjukkan dalam firman Allah Ta’ala:

إِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا

🍒 “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Luqman: 15).

♻Dan sikap kepada para kerabat yang musyrik pun sebagaimana sikap kita kepada orang tua yang musyrik tersebut. Mereka tetap memiliki hak silaturahmi, hak nafkah, dan hak untuk dipergauli dengan baik. Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:

ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ﴾

💠 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” (QS. An Nisa: 36).

✅Tegaslah Dalam Memberikan Batas Toleransi

🌀 Namun pergaulan yang baik terhadap mereka tidak boleh sampai level memberikan dukungan kepada kekufuran mereka, atau kepada pelaku kekufuran atau memberikan persetujuan atas hal itu. Terlebih lagi jika mereka memusuhi Islam, maka hukumnya haram (memberikan dukungan). Bahkan hal itu bisa menyebabkan kekufuran terhadap Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

مَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡ

⬇“Barangsiapa loyal kepada mereka (Musyrikin) maka ia bagian dari mereka” (QS. Al Maidah: 51).

↪ Selain itu juga, hendaknya dalam berdakwah para muslimin menggunakan metode yang lemah lembut. Hindari sikap kaku dan kasar dalam berdakwah. Hindari sikap keras yang membuat orang lari dari agama. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ

↗“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An Nahl: 125).
Karena metode dakwah lemah lembut inilah yang menjadi sebab terbesar tersampaikannya dakwah dan bimbingan para du’at kepada orang-orang awam. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

🕹“Jika ada satu orang yang mendapatkan hidayah dari Allah oleh sebab dakwahmu, itu lebih baik dari pada engkau mendapatkan unta merah” (HR. Bukhari no. 3009, Muslim no. 2406).

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا
الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلام على مَنْ أرسله الله رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد

🌿 Orang yang melakukan syirik akbar itu berhak mendapatkan kemurkaan dari Allah, dan bara’ah (kebencian) yang mutlak yang tidak ada rasa cinta dan loyalitas terhadap mereka. Karena aqidah al wala wal bara (cinta kepada ahli iman dan benci kepada ahli syirik) adalah tali keimanan yang paling kuat. Dan tali penghubung yang menjadi pondasi dari bangunan masyarakat Muslim. Ia juga merupakan konsekuensi dan syarat sah dari syahadat. Allah Ta’ala berfirman:

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡ

🎙“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al Mujadalah: 22).

📜 Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

⏳“tidak beriman salah seorang diantara kalian, sampai aku menjadi yang paling ia cintai daripada kedua orang tuanya dan anaknya dan seluruh manusia” (HR. Bukhari no.15, Muslim no.44).

سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ

Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata,

“Ketika saya sedang berjalan kaki di kota Madinah, tiba2 seorang laki2 di belakangku berkata,

’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’
Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aku berkata,
Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.”

(Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan)

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman (bapak kaum sufi), ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَذَا مَوْضِعُ الإِزَارِ فَإِنْ أَبِيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبِيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِْزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ

“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.”

(Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70)

Dari dua hadits ini terlihat bahwa IZAR (kain/sarung dan bukan CELANA) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis.

Boleh bagi seseorang menurunkan kainnya, namun dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki.

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim saat ini adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ (صحيح البخاري، 3392)

Dari Abdullah bin Umar ra berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat”

Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong.”

(HR. Bukhari)

Juga hadits berikut yang mungkin dijadikan rujukan penyuka celana cingkrang:

عن ابن عباس رضي الله عنهما قالسمعت النبي صلى الله عليه وسلم يخطب بعرفات من لم يجد النعلين فليلبس الخفين ومن لم يجد إزارا فليلبس سراويل للمحرم

Dari Ibnu ‘Abbas ra berkata: ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami saat dipadang ‘Arafah.
Beliau bersabda:

'Barang siapa yang tidak mempunyai sarung maka pakailah celana bagi yang berihrom.”

(Shahih Al-Bukhari bab memakai sepatu bagi yang sedang ihrom jika tdk memiliki sandal)

قال القرطبي : أخذ بظاهر هذا الحديث أحمد فأجاز لبس الخف والسراويل للمحرم الذي لا يجد النعلين والإزار على حاله

Menurut Imam Al-Qurthubi jika melihat zhahir ini hadits dari Imam Ahmad tentang kebolehan memakai sepatu jika tdk punya sandal dan boleh memakai celana jika tdk memiliki kain bagi yang sedang ihrom.

Ketahuilah bahwa pakaian kesukaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah gamis.
Jadi memakai gamis adalah suatu yang disunnahkan.
Namun kadang memakainya melihat keadaan masyarakat, jangan sampai terjerumus dalam pakaian yang tampil beda (pakaian syuhroh).

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – الْقَمِيصُ

“Pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu gamis.”

(HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Hadits di atas disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin di mana hadits tersebut menunjukkan bahwa pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian gamis.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin (tokoh besar wahabi) berkata,

Karena gamis di sini lebih menutupi diri dibanding dengan pakaian yang dua pasang yaitu izar (pakaian bawah) dan rida’ (pakaian atas).
Namun para sahabat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang memakai pakaian atas dan bawah seperti itu.
Terkadang mereka mengenakan gamis.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyukai gamis karena lebih menutupi. Karena pakaian gamis hanyalah satu dan mengenakannya pun hanya sekali.
Memakai gamis di sini lebih mudah dibanding menggunakan pakaian atas bawah, di mana yang dipakai adalah bagian celana terlebih dahulu lalu memakai pakaian bagian atas.

Namun ada catatan yang diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin,

Akan tetapi jika engkau berada di daerah (negeri) yang terbiasa memakai pakaian atasan dan bawahan, memakai semisal mereka tidaklah masalah.
Yang terpenting adalah jangan sampai menyelisihi pakaian masyarakat di negeri kalian agar tidak terjerumus dalam larangan memakai pakaian yang tampil beda.
Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pakaian syuhroh (pakaian yang tampil beda).

(Lihat Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 284-285, terbitan Madarul Wathon).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ

“Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat”

(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin (tokoh besar Wahabi) menerangkan,

أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه.
وبناءً على ذلك نقول: هل من السنة أن يتعمم الإنسان؟ ويلبس إزاراً ورداءً؟
الجواب: إن كنا في بلد يفعلون ذلك فهو من السنة، وإذا كنا في بلد لا يعرفون ذلك، ولا يألفونه فليس من السنة.

“Mencocoki kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang syuhroh (suatu yang tampil beda).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpakaian syuhroh.
Jadi sesuatu yang menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.

Berdasarkan hal itu, apakah yang disunnahkan mengikuti kebiasaan masyarakat lantas memakai pakaian atasan dan bawahan?

Jawabannya, jika di negeri tersebut yang ada adalah memakai pakaian seperti itu, maka itu bagian dari sunnah.
Jika mereka di negeri tersebut tidak mengenalnya bahkan tidak menyukainya, maka itu bukanlah sunnah.”

(Syarhul Mumthi’, 6: 109, terbitan Dar Ibnul Jauzi).

Kesimpulannya yang merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

1. Sunnah memakai izar (kain/sarung) setengah betis atau diatas mata kaki.

2. Boleh memakai izar menutup mata kaki asal tidak sombong sebagaimana Abu Bakar biasa memakainya dan dibolehkan oleh Nabi.

3. Boleh memakai sirwal (celana panjang) saat beribadah. Namun pakaian kesukaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah qamish (baju kurung panjang)

4. Larangan memakai pakaian suhroh (pakaian yang beda daripada umumnya) termasuk larangan memakai celana cingkrang di masjid yang mayoritas memakai sarung atau memakai celana yang tidak cingkrang.

5. Belum ditemukan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai celana panjang, apalagi celana cingkrang.

Jadi buat ikhwan salafi wahabi dan semisalnya, janganlah bangga dengan celana cingkrang yang katanya nyunnah demi menghindari isbal.

Ketahuilah sesungguhnya qomish/gamis pakaian sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan berpakaianlah yang umum dimana kita berada biar tidak suhroh karena itu dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا .
( سورة التحريم : ٥ )

"Jika sampai Nabi menceraikan kalian, mudah-mudahan Rabbnya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis." 📘(Qs. At-Tahrim: 5)

Dalam ayat yang mulia diatas disebutkan beberapa sifat isteri yang shalihah yaitu :

1. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas kepada Allah ﷻ, tunduk kepada perintah Allah ﷻ dan perintah Rasul-Nyaﷺ .

2. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah ﷻ .

3. Qanitat: wanita-wanita yang taat

4. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah ﷺ walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka.

5. Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah ﷻ dengan mentauhidkan-Nya karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah ﷻ di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, (kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma).

6. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa.
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ، ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17)

📚Imam ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya yaitu Ighatsatul Lahfan (hal. 176-178) menyebutkan beberapa atsar Salafush Shalih mengenai tafsir dari empat arah ini.

1⃣Pertama, Iblis akan mendatangi dari arah depan. Ibnu Abbas radhiyallahu anhu mengatakan:

أُشَكِّكُهُمْ فِي آخِرَتِهِمْ

Maksudnya: “Aku (Iblis) akan memberikan keragu-raguan kepada mereka terhadap akhirat mereka.” (Tafsir Ibn Jarir: 12/338)

Iblis akan mengilhamkan kepada manusia agar mereka ragu dengan hari kebangkitan, ragu dengan surga dan neraka, serta perkara-perkara akhirat lainnya.

2⃣Kedua, Iblis akan mendatangi dari arah belakang. Ibnu Abbas radhiyallahu anhu mengatakan:

أُرَغِّبُهُمْ فِي دُنْيَاهُمْ

Maksudnya: “Aku (Iblis) akan membuat mereka menjadi sangat cinta kepada dunia.” (Tafsir Ibn Jarir: 12/338)

Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim rahimahullah, Ibnu Abbas radhiyallahu anhu mengatakan:

أُرَغِّبُهُمْ عَنْ دِينِهِمْ

Maksudnya: “Aku (Iblis) akan membuat mereka menjadi benci kepada agama mereka.” (Tafsir Ibn Abi Hatim: 8248)

3⃣Ketiga, Iblis akan mendatangi dari samping kanan. Ibnu Abbas radhiyallahu anhu mengatakan:

أُشَبِّهُ عَلَيْهُمْ أَمْرَ دِينِهِمْ

Maksudnya : “Aku (Iblis) akan menjadikan mereka ragu terhadap urusan Agama mereka.”

Abu Shalih rahimahullah mengatakan:

الحَقُّ أُشَكِّكُهُمْ فِيهِ

Maksudnya: “Aku akan buat mereka ragu terhadap kebenaran.”

4⃣Keempat, Iblis akan mendatangi dari samping kiri. Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan:

السَّيِّئَاتُ يَأْمُرُهُمْ بِهَا, وَيَحُثُّهُمْ عَلَيْهَا, وَيُزَيِّنُهَا فِي أَعْيُنِهِمْ

Iblis akan memerintahkan manusia untuk melakukan kejelekan-kejelekan, memberikan dorongan untuk melakukannya, menghiasinya sehingga tampak indah di mata mereka.

💡Oleh sebab itu, sebagai anak keturunan Adam semestinya kita menyadari betul ambisi dari musuh utama kita ini. Kita harus waspada dan senantiasa mohon perlindungan Allah agar dapat selamat dari makar iblis ini. Salah satu usaha yang wajib kita lakukan adalah dengan menuntut ilmu agama, karena dengan itulah kita dapat membedakan antara benar dan salah. Jika kita enggan belajar maka cepat atau lambat, disadari atau tidak, kita pasti akan terjatuh ke dalam jerat dan perangkap iblis tersebut.